Revariabelisasi Konsep Pemenuhan Hak Komunitas Beragama Diluar Enam Agama di Indonesia
Agama merupakan suatu
kepercayaan seseorang yang berperan penting dalam terciptanya pondasi berkehidupan
dan bermasyarakat, tanpa norma agama maka akan terjadi degradasi religiusitas
yang akan berdampak pada konsep kemanusiaan di masyarakat. Berbagai alasan
terjadinya konflik yang mengatas namakan agama seperti persekusi, diskriminasi
dan perlakuan rasisme, hal ini berdampak terhadap perlakukan pelanggaran HAM
oleh orang yang menjadi korban dari
perlakukan di atas atau ketidakpuasaan atas ketidakpunyaan hak hak agama
yang berbeda dari enam agama di Indonesia.
Hak Asasi Manusia (HAM)
merupakan norma dasar yang menjadi sumber hukum terhadap berbagai peraturan di
Indonesia, bahkan HAM bukan hanya sebagai ilmu yang mengkaji persoalan hak hak
dasar yang harus diperoleh oleh setiap manusia, tetapi juga sebagai salah satu
legalitas terbentuknya sebuah Negara sebagaimana pendapat J.B.J.M. ten Berge,
Friederich J. Stahl dan A.V. Dicey.[1]
Berbagai persoalan HAM masih menjadi tugas pokok oleh pemerintah untuk
menuntaskan kewajiban atas nama Negara hukum sebagaimana di cantumkan dalam
Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 setelah amandemen ketiga pada tanggal 9 Nopember
2001. Sebelum amandemen ketiga, pernyataan bahwa Indonesia adalah negara hukum
belum dicantumkan secara tegas dalam bab atau pasal tersendiri, tetapi secara
implisit disebutkan dalam penjelasan UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan
Negara, yang menjelaskan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum
(rechtsstaat).[2] Maka menjadi sebuah
konsekuensi wajib untuk pemerintah agar menuntaskan kasus kasus yang terkait
dengan pelanggaran HAM terutama persoalan hak hak komunitas beragama.
Perjuangan hak atas nama
agama telah ada ketika akan dirumuskannya sebuah Negara sebagaimana ketika para
founding father merumuskan perihal materi UUD 1945 dalam BPUPKI dan
menyepakati Pasal 29 UUD 1945 yang berbunyi “Negara berdasar atas ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, Materi ini
kemudian dirubah oleh PPKI menjadi “Negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha
Esa”.[3]
Maka dengan perdebatan ini menandakan bahwa HAM atas nama agama tidak pernah
usai hingga zaman pasca reformasi, agama yang ditafsirkan resmi oleh masyarakat
adalah 6 kepercayaan yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Hu
Cu (Confusius) sebagaimana Penjelasan Umum Pasal 1 UU NO.1/PNPS/1965, hal ini
menandakan bahwa masih banyak agama yang tidak disebutkan dalam UU tersebut dan
berbagai aturan hukum di Indonesia.
UU tersebut tidak
mengatakan bahwa 6 agama di atas adalah kepercayaan resmi tetapi dengan
ketiadaan sumber hukum terkait agama yang diakui oleh pemerintah maka secara
otomatis akan menjadi kebiasaan di masyarakat bahwa hanya 6 agama di ataslah
yang berhak berada di Negara nusanatara ini. hal ini sejalan dengan ketentuan
pancasila nomor satu yang berbunyi “ketuhanan yang maha esa” maka seluruh
masyarakat Indonesia wajiblah bertuhan dengan agama yang dilegalisasi secara
tidak langsung oleh pemerintah dengan UU NO.1/PNPS/1965. Penafsiran yang
dilakukan oleh masyarakat dan bahkan disampai oleh para muballigh pemuka agama
bahwa tidak dibenarkan WNI yang tidak mempunyai agama dan tidak bertuhan dari 6
agama diatas untuk tinggal di Negara Indonesia.
Ketiadaan penjelasan
yang jelas maka berdampak terhadap penafsiran liar oleh masyarakat terkait
agama resmi yang ada di Indonesia, bahkan status tidak beragamapun tidak mampu
untuk mendapatkan hak bekerja atas nama pemerintah. Konsep diskriminasi
keagamaan seperti ini terus terjadi mengingat tidak adanya ketegasan pemerintah
untuk merumuskan penetapan agama resmi di Indonesia, yang berdampak terhadap
kepada masyarakat yang menganut kepercayaan diluar dari enam agama yang sebut
sebagai agama resmi. Mempertimbangkan pelanggaran HAM atas nama agama maka
sering perlakuan intoleransi diskriminatif yang cenderung
bersifat anarkis
diterima oleh orang orang yang berada diluar enam agama di Indonesia.
Pasal 28E dan Pasal 29
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
memberikan jaminan kebebasan kepada setiap warga negara untuk memeluk agama dan
beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing tanpa mendapatkan diskriminasi
dan intoleransi oleh oknum dari enam agama yang disebutkan dalam UU PNPS 1965
juga tidak ada pembatasan di UUD bahwa agama yang dimaksud adalah enam agama
terebut, maka penafsiran bahwa hanya enam agama yang berhak dan diakui di
Indonesia adalah dikategorisassikan sebagai agama resmi oleh masyarakatpun
tidak memiliki legalitas yang kuat.
Hukum merupakan norma tertinggi yang ada di Indonesia
maka segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan bernegara haruslah
disesuaikan dengan konsep hukum, pada prinsip hukum dikenal dengan ibi jus
incertum ibi juz nullum (tidak ada kepastian hukum maka tidak ada hukum)
artinya segala sesuatu kesalahan tidak membenarkan bahwa itu kesalahan tanpa
ada hukum yang mengatur persoalan tersebut. Sudah sewajibnya pemerintah sebagai
penanggung jawab tertinggi untuk memberikan kepastian agama agama dan keyakinan
kepercayaan yang resmi di Indonesia agar masyarakat yang melakukan tindakan
tindakan melawan hukum dengan dasar seolah olah aliran sesat dapat
diminimalisir karena telah dilakukannya perbuatan prefentif.
Kemajemukan
agama itu harus tetap dalam bingkai akhlak untuk membangun dan memberdayakan
relasi inklusifitas persaudaraan dan kebersamaan antar pemeluknya, bukan relasi
yang menyuburkan persinggungan dan ketegangan. Masing-masing pemeluk agama
harus menghargai dan mengadvokasi hak humanitas sesamanya dalam beragama.
Keyakinan dan praktik ritual keagamaan yang dijalankan sesamanya tidak boleh
diganggu dan dikontaminasi beragam fitnah, serta tangan tangan jahat.[4]
Dengan Negara berbentuk archipilego (Kepualauan) seharunya masyarakat
memahami bahkan persatuan di dalam pluralism merupakan suatu keniscayaan yang
tidak bisa dibantah dan diingkari.
Fakta ditengah
masyarakat tidak memahami makna dari pluralisme agama karena masyarakat dapat
terbaca jelas, bahwa belum semua pemeluk agama sadar dan bersikap “cerdas”,
menjunjung tinggi hak demokratisasi dan huma nitas dalam pluralisme agama.
Masih ada komunitas beragama yang terseret pada sikap eksklusif, mengutamakan
klaim kebenaran (truth claims), arogansi etnis dan utamanya keserakahan
kekuasaan, dendam dan friksi-friksi politik yang dibenarkan melalui pola
manipulasi doktrin agama.[5]
Maka berdampak terhadap perlakukan ketidakadilan terhadap kelompok minoritas
yang belum mendapatkan legalitas hak keagamaan.
Ada tiga
persoalan mendasar yang bersifat ideologis dan dan masih berlangusngnya sikap
pelanggaran terhadap kelompok minoritas :[6]
1. Sila
pertama Pancasila, hal ini karena sila pertama dalam pancasila adalah bias terhadap
agama yang monotheis, terutama agama islam dan mengeluarkan agama non monoteis
seperti hindu dan budha.
2. Paradigm
berfikir tentang agama yang diskriminatif
3. Pemihakan
pemerintah terhadap pemahaman agama yang ortodoks.
Dikotomi agama resmi dengan agama tidak resmi menyebabkan
perlaukan yang berbeda antara pemeluk dua jenis agama tersebut, dengan dikotomi
tersebut dan ditambah pemerintah yang berpegang terhadap prinsip ortodokisme
terhadap suatu agama tertentu yang mayoritas, maka pemerintah perlidungan yang
diberi pemerintah terhadap kepercayaan tertentu aka ada unsur keberpihakan.[7]
Penelitian yang dilakukan oleh Gaffar bahwa kekeran Negara terhadap golongan
Ahmadiyah dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu : Fatwa MUI yang tendensius dan
Negara sebagai penjamin keamanan justru menjadi pelaku dengan cara pengabian
secara hukum.[8]
Pasal 29 UUD 1945 yang
menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan pasal 29
UUD 1945 yang menyatakan negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
mengandung makna bahwa negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan
atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu, negara berkewajiban membuat peraturan
perundangundangan yang melarang siapa pun melakukan pelecehan terhadap ajaran
agama dan diskriminasi terutama perlakukan perlakukan resisme.
ffan
[1] S. Masribut
Sardol, Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Indonesia, Rechtsidee, Vol 1,
No 1 (2014), hlm.1 lihat juga pada Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan
(Yogyakarta: Paradigma, 2010), hlm. 95 dan Ismatullah and Sahid, Ilmu Negara Dalam
Multi Perspektif Kekuasaan, Masyarakat, Hukum Dan Agama, hlm. 167
[2] Ibid, hlm. 1
[3] M. Syafi’ie,
2011, Ambiguitas Hak Kebebasan Beragama di Indonesia dan Posisinya Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 5, Oktober
2011, Pusat Studi HAM UII, hlm. 677
[4] Mariyadi
Faqih, Menegakkan Hak Beragama di Tengah Pluralisme, Jurnal Konstitusi, Volume
8, Nomor 4, Agustus 2011, hlm. 435
[5] Mohammad
Mahfud, 2009, Islam Tanpa Darah, Islam Membuka Jalan Rahmah, Permata Hati,
Malang, hlm. 23
[6] Ahmad Najib
Burhani, Tiga Problem Dasar Dalam Perlindungan Agama Agama Minoritas di
Indonesia, Maarif Vol 7 No 1, 2012.
[7] Ibid.
[8] Abdul Gaffar,
Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam perspektif kekerasan Negara : dua kasus
dari Surabaya jawa timur dan Lombok NTB, soiologi islam, Vol . 3, No 2, 2013.
Play online casino online for real money with real money from
BalasHapusJoin the online casino 1xbet korean world today and enjoy the chance to win free spins for Real money games 인카지노 at an exciting casino. Get the latest casino bonuses. 제왕카지노