Menakar Efektifitas Konsep Penyelesaian Non Litigasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis
Hukum bisnis dikategorikan sebagai lex
spesialis dari rumpun ilmu hukum, bahkan dalam pembagian 4 keilmuan hukum
diatas memiliki kajian lebih khusus terhadap hukum bisnis, hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya mata kuliah khusus terkait hukum bisnis seperti hukum
pidana bisnis/ekonomi, hukum bisnis internasional, perbandingan hukum bisnis
dan hukum perdata bisnis. Oleh karena itu hukum bisnis mengambil peran penting
disetiap rumpun ilmu hukum.
Pertumbuhan ekonomi yang kompleks
menimbulkan berbagai bentuk kerjasama bisnis. Hal ini diperkuat dengan bahwa setiap
kegiatan bisnis semakin meningkat dari hari kehari, oleh karena itu tidak
mungkin untuk menghindari terjadi sengketa (dispute/diference) diantara
para pihak yang terlibat langsung. Sengketa dilahirkan dari berbagai alasan
masalah yang melatarbelakanginya, terutama karena adanya conflict of
interest yang terjadi diantara para pihak. Oleh karena itu Sengketa yang
timbul di antara pihak- pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan bisnis
atau perdagangan dinamakan sengketa bisnis.[1]
Meningkatnya kegiatan bisnis maka
akan berbading lurus dengan adanya sengketa antara pihak-pihak yang terlibat persengketaan.
Konflik dengan basis bisnis tersebut tidak akan dibiarkan oleh para pihak yang
merasa kepentingannya ada dalam konflik tersebut. Maka sangat diperlukan
alternatif penyelesaiannya secara tepat
dengan jalur yang baik agar tidak menimbulkan kerugian dikedua belah
pihak. Secara norma hukum maka setiap konflik sengketa bisnis akan melakukan
penyelesaian melalui ligitasi (jalur pengadilan), yang mana para pihak menjadi
pihak yang saling berlawanan satu sama lain. Cara penyelesaian sengketa melalui
pengadilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoriti
hukum. Peran dan fungsi peradilan dianggap mengalami beban yang overloaded,
waste of time, very expensive dan unresponsive terhadap kepentingan
umum. Atau dianggap terlalu formalistik (formalistic) dan technically.[2]
Membiarkan sengekta bisnis tanpa
kepastian akan berdampak kepada pembangunan ekonomi yang tidak efisien,
produktifitas menurun dan biaya produksi meningkat. Konsumen yang menjadi faktor
penting akan dirugikan dan peningkatan kesejahteraan dan kemajuan sosial kamun
pekerja akan terhambat. Secara aturan dasar setiap sengketa bisnis akan
diselesaikan melaluli jalur litigasi atau penyelesaian sengketa dimuka
pengadilan, maka para pihak yang bersengketa akan menjadi musuh, pada dasarnya
penyelesaian ini merupakan jalur terakhir yang disebut dengan ultimum remedium
artinya langkah terakhir setelah berbagai jalur telah ditempuh. Proses di
pengadilan biasanya akan membutuhkan waktu yang lama dalam proses penyelesaian
perkara maka akan berdampak pada para pihak yang tidak mendapatkan kepastian.
Cara seperti ini tidak akan menguntungkan para pebisnis yang menjadi pihak
persengketaan, penyelesaian sengketa bisnis melalui lembaga peradilan tidak
selalu menguntungkan secara adil bagi para pihak.[3]
Penyelesaian jalur pengadilan tidak
secara langsung disidangkan di meja hijau tetapi telah melalui serangkai
tahapan dalam penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi seperti adanya
Mediasi. Dalam aturan hukum nasional terkait Mediasi telah ada Pusat Mediasi
Nasional dibawah Mahkamah Agung yang
bertugas untuk mengembangkan skill penegak hukum terutama hakim yang menjadi
kunci dalam penyelesaian sengketa, bahkan tidak setiap pengadilan sudah
seharusnya ada mediator untuk menangani persolan ini. Dengan adanya hakim
sebagai mediator tidak menjadi kunci dalam penyelesaian sengketa tersebut,
dapat dilihat bahwa hampir seluruh kasus tidak berhenti di meja mediasi tetapi
akan selalu bermuara ke meja hijau sidang hakim.
Penyelsaian
sengketa dimeja hijau sangat sedikit sekali yang akan merasa puas oleh para
pihak yang bersengketa, hal ini dikarenakan setiap keputusan hakim aka ada
pihak yang alah dan pihak yang menang. Maka setiap pihak yang merasa dirugikan
dengan dalih ketidak adilan merupakan alasan bahwa penyelsaian sengketa di meja
hijau tidak membangun prinisp efektifitas dan efisiensi tersebut, maka perlu
untuk memperkuat konsep penyelesaian sengketa non litigasi dalam sengketa
bisnis. Penyelesaian yang diterima oleh parap pihak merupakan variabelitas
suatu putusan atas sengketa dapat dikatan adil dan bijaksana.
Saat sekarang ini telah berkembang penyelesaian sengketa di luar
pengadilan yang dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (ADR).
Istilah penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya untuk menggambarkan
cara-cara penyelesaian selain dari
litigasi. Mengingat ketidakpuasan masyarakat terhadap lembaga peradilan,
semakin penting untuk lebih mendayagunakan penyelesaian sengketa alternatif/ADR
(Alternative Dispute Resolution) sebagai salah satu jalur
penyelesaian sengketa. ADR (Alternative Dispute Resolution) merupakan
suatu mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dianggap lebih
efektif, efisien, cepat dan biaya murah serta menguntungkan kedua belah pihak (win-win
solution) yang sedang bersengketa.
[1] Ros Angesti
Anas Kapindha dkk, Efektivitas Dan Efisiensi Alternative Dispute Resolution
(ADR) Sebagai Salah Satu Penyelesaian Sengketa Bisnis di Indonesia, Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, hlm.2
[2] Ibid, hlm. 3
[3] Joko Nur Sariono, Agus Dono Wibawanto, Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR), Jurnal Perspektif, Volume XI No.3 Tahun 2006 Edisi Juli, hlm.246
Posting Komentar untuk "Menakar Efektifitas Konsep Penyelesaian Non Litigasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis "