Learning by Doing and Teaching
Anak ini bernama Ryan,
seorang laki-laki yang mempunyai target dan rencana yang tidak jarang tidak
tercapai dan gagal dalam melaksanakannya. Sebelum menginjak bangku kuliah Ryan
merupakan anak pesantren yang menempuh pendidikan islam selama 7 tahun, hal ini
sesuai dengan kurikulum di pondok pesantren tersebut yang mewajibkan menempuh
pendidikan tsanawiyah selama 4 tahun dan aliyah 3 tahun. Pesantren tidak hanya
mengajarkan ilmu agama dan akidah akhlah tetapi juga mempelajari semua pelajaran
umum yang berada di SMP dan SMA secara tuntas. Pendidikan karakter yang
ditanamkan dari bangku tsanawiyah tingkat dasar mengajarkan bahwa akhlak lebih
utama dari sebuah ilmu dan berprilaku dengan bertata krama lebih dianjurkan
dari pada hanya sekedar pintar dan cerdas dalam memperoleh nilai.
Setelah menamatkan
bangku sekolah pertama dan menengah dengan prediket medium (biasa biasa saja)
maka sudah merupakan kewajiban untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
yaitu bangku kuliah di strata 1 dan apabila Allah merestui maka lanjut ke
jenjang strata 2. Setelah menyelesaikan strata 1 di salah satu univ swasta di Prov
Sumatera Barat dengan hasil cukup memuaskan. Maka tahap selanjutnya Ryan membulatkan
tekad dan meneguhkan pendirian harus pergi ke tanah jawa untuk menimba ilmu dan
memperluas relasi. Sebelum bertempur dengan para peserta didik yang telah mempunyai
kemampuan verbal yang sangat mampuni maka cara yang paling efektif untuk
mengimprove kemampuan Ryan adalah menguasai bahasa asing terutama bahasa
inggris, dan salah satu cara adalah mencoba mengenyam pendidikan di Pare dengan
memilih konsentrasi Pre Toefl dan Pre Ielts. Setelah 1 bulan berlalu, Ryan
menyadari bahwa program yang dipilihnya kurang tepat, karena untuk fokus ke
toefl dan ielts harus mempunyai kemampuan dasar bahasa inggris yang baik, di
Pare inilah Ryan belajar rendah hati, sabar dan sungguh-sungguh dalam menggapai
tujuan dari seorang laki-laki yang baru dikenalnya, dan kebetulan laki-laki
tersebut merupakan teman Ryan satu kamar yang sama. Tidak sombong dan rendah
hati, itulah gambaran untuk laki-laki tersebut, yang di kemudian hari laki-laki
ini lolos seleksi hakim dan berkesempatan mengenyam pendidikan hakim. Ternyata
pekerjaan yang berkah itu adalah berbanding lurus dengan karakter manusianya.
Waktupun berlalu dan Ryan
telah mengikuti serangkaian tahapan untuk malanjutkan ke jenjang pendidikan
strata 2 disalah satu universitas negeri terkemuka di Yogyakrata. Kelulusan ini
bukan murni dari kemampuan Ryan tetapi juga di bantu dengan sistem perekrutan
mahasiawa baru di fakultas tersebut dan tentu nya juga dengan doa yang selalu
dipanjatkan kepada sang maha penguasa. Dimulainya perkuliahan maka menandakan
diawalinya pergualatan hidup mahasiswa dengan segudang cerita panjangnya. Selain
mengikuti perkuliahan formal, Ryan juga aktif di salah satu pendidikan yayasan
di Yogyakarta, yayasan ini bergerak dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak
hingga remaja, baik itu pelajaran umum maupun pelajaran agama seperti mengajar
baca tulis al quran (BTAQ) atau pelajaran umum sperti Matematika, Ipa, Ips,
Keawarganegraan dan Agama. Yayasan ini tidak hanya mengajar di sekolah dasar
yang bekerja sama dengan yayasan tersebut tetapi juga menerima sistem private.
Ryan mulai mengetahui seluk beluk mengajar ketika masuk pada yayasan ini, para
tutor diajarkan materi-materi yang akan disampaikan kepada anak-anak SD walaupun
tidak diajarkan bagaimana cara melakukan pendekatan terhadap anak tersebut,
karena metode dan cara adalah kreatifitas pengajar dalam membaca situasi dan
kondisi peserta didiknya. Awal mengajar telah dihadapkan dengan segelumit tingkah
anak-anak SD, mulai dari yang nakal hingga yang patuh. Para tutor juga dituntut
untuk menghafal doa-doa dan ayat-ayat pendek, juga harus bisa membuka dengan
tata cara yang sesuai dengan keinginan peserta didik. Pesantren tidak
mengajarka Ryan cara mengajar karena Ryan termasuk santri yang nakal di antara
santri-santri lainnya, hal ini dapat dilihat bahwa Ryan pernah memperoleh
peringkst 23 dari 25 siswa.
Memulai mengajar di
salah satu yayasan membawa Ryan harus belajar lebih giat dalam memperdalam ilmu
dasar agama dan juga harus mempelajari cara-cara yang dapat di praktekkan kepada
siswa/i SD tersebut. Ryan menyadari bahwa suasana pendidikan pada zaman sekarang
sangat jauh berbeda dengan suasa pendidikan pada tahun 90 an, hal ini semakin
kontras ketika Ryan mengajar BTAQ (baca tulis al qur’an) yang notaben kelas 6 SD
pun masih belum bisa membaca iqra dengan baik dan benar. Kondisi seperti ini
tidak terlepas dari pendidikan keluarga yang ditanamkan oleh orang tua kepada
anaknya. Pendidikan agama di kota besar tidak menjadi perhatian utama seperti halnya
masyarakat desa yang sangat fokus dan konsent terhadap pendidikan agama.
Situasi ini mejadikan Ryan sadar bahwa pendidikan terbaik adalah pendidikan
keluarga yang diberikan ketika masa kecil dan anak anak.
Pengajaran perdana yang
diberikan Ryan kepada anak-anak SD menjadi sejarah yang tidak akan pernah terlupakan,
hal ini dikarenakan banyaknya hal baru yang harus dipelajari dalam persoalan
ngajar mengajar. Mengajar merupakan langkah awak bagi Ryan untuk melangkah
lebih maju, Yayasan ini tidak hanya memberikan penyaluran tutor kepada SD
tetapi juga menerima panggilan private mengajar dan biasanya yang cukup populer
adalah permintaan untuk private mengaji, hal ini merupakan kemajuan bagi masyarakat
kota yang notaben tidak memikirkan persoalan akhirati. Pengajaran private perdana yang diperoleh Ryan adalah
mengajarkan mata pelajaran umum untuk anak SD, gambaran awal dalam mengajar
adalah sesuatu kemudahan karena hanya mengajarkan anak SD, tetapi fakta tidak
sesuai dengan kenyataan. Kurikulum yang tinggi harus dibarengi dengan pemahaman
dan pengetahuan yang luas. Ryan yang merupakan anak pondok dan mengambil
jurusan IPS harus mengajarkan ilmu-ilmu pasti seperti matematika, IPA dan Bhs.inggris
(mata pelajarn yang sangat ditakuti Ryan). Hal ini menjadi tantangan untuk Ryan
harus mempelajari dari dasar keilmuan umum dan materi-materi 10 tahun yang
lalu.
Mempelajari materi zaman
SD pada tahun 90 an tidak sesulit memahami cara dan metode pengajaran yang
harus di ajarkan kepada perserta didik, tidak ada satupun materi maupun cara
yang efektif kecuali melihat situasi dan kondisi dari objek yang
diajarkan. Kesabaran, ketekunan dan
keikhlasan adalah kata yang tepat untuk Ryan, mencoba berbagai cara dan metode
adalah hal wajar ketika itu merupakan fase perdana dalam menjadi peserta didik.
Ryan menggali, membaca dan memahami ulang dari materi-materi yang akan
diberikan seperti menghafal perkalian, memperluas wawasan keilmuan dan
mempelajari metode pengajaran.
Hari perdana Ryan
mengajar merupakan peristiwa langkah nan sejarah, belajar matematika merupakan
pelajaran hanya untuk profesor dan ahli telamatika (fikiran Ryan). Tibahlah
hari perdana mengajar untuk Ryan, Kamu ada PR bro ?? tanya Ryan ke Fadhil (anak
yang di privatin Ryan), Ryan mengajar dengan santai dan berusaha tidak kaku
apalagi formal. “iya, ada mas” sahutnya, “okkee, PR apa and berapa banyak ?”,
“tidak banyak mas, hanya 2 lembar and ini PR matematika”. Ryan dengan mata
santai dengan hati kacau dan jantung hampir lepas dari posisi nya menjawab
“oke, lets go !”. sebelum belajar dimulai pasti diawali dengan membaca iqra dan
menulis huruf hijaiyah, disinilah waktu yang di nanti nanti kan Ryan, sembari
Fadhil menulis maka Ryan melihat tugas matematika nya, dan tingkah yang pertama
adalah menghela nafas dengan mengerutkan kening. “Tugas yang mudah dan sangat
simple” kalimat ini lah yang terbesit di fikiran Ryan pertama kali mendengar
informasi untuk mengajarkan anak SD, tetapi situasi menjawab berbeda, karena
kurikulum masa sekarang sangat berbeda dengan pada masa tahun 90 an. Pelajaran
dengan kuliatas hard level menjadi
konsumsi sehari hari untuk anak pada masa milenium sekarang.
Mengajar fadhil
merupakan tahap awal dari perjalanan Ryan dalam mengajar di Yogyakarta. “perbanyaklah
relasi maka rezekimu akan melimpah dan tantanganmu akan berat” barangkali
perumpamaan ini yang sangat cocok terhadap situasi dan kondisi Ryan saat
sekarang ini, karena setelah mengajar anak SD Ryan menadapatkan rezeki dan tantangan
baru untuk mengajar mahasiswa dengan pengajaran yang sama yaitu BTAQ (baca
tulis al quran). “assalamualaikum” saut Ryan dengan wajah penuh semangat dan
deg degan menanti tantangan baru apa yang akan diterimanya, “waalaikum salam”
saut salah satu penghuni rumah yang ternyata itu adalah laki laki yang akan Ryan
ajar BTAQ, perawakan kurus dan keren, itulah ucapan ketika melihat Bima, yang
merupakan mahasiswa di salah satu univ swasta yang sangat terkenal di Yogya. “mas
Bima ??”, “iya” jawabnya, dengan prinsip SKSD (sok kenal sok dekat) akhirnya Ryan
mampu akrab dengan bima. “mungkin mengajar mahasiswa sangat tidak terlalu sulit
karena pasti sudah bisa membaca dan menulis dengan baik, karena sudah sangat
dewasa” inilah pemikiran pertama yang terlintas di benak Ryan. “mari kita mulai
dengan membaca basmalah mas bro”, “okkee” sautnya, dengan bacaan yang sangat
lancar menjadikan Ryan optimis untuk mengajarkan bima dengan santai.
“am..ammmaa.. ya.. tasyaaa..aa..aa..lluuu..uun”, kalimat yang keluar dari suara
bima. Ryan dengan pejamkan mata sambil istigfar di hati “astagfirullah”,
fikiran untuk bersyukur adalah kalimat yang di ucapkan hati Ryan, karena
melihat seorang laki laki dewasa yang belum bisa membaca al quran, bahkan harus
di ulang dari tahap iqraq. Dengan peristiwa di atas maka Ryan berfikir bahwa
sangat wajar Ryan kena pukul dan ditegaskan oleh guru ngajinya pada masa
kanak-kanak, ternyata mengaji adalah hal yang sepele tetapi rumit bagi yang
tidak mau belajar dan memurojaah bacaannya. “bersyukur” adalah kata yang pantas
di keluarkan dari kalimat Ryan setelah melihat bagaimana situasi pemuda di kota-kota
besar seperti Yogyakarta apalagi Jakarta, Bandung dan Surabaya.
Dengan mengajarkan 2 sampai 3 anak maka Ryan memperoleh relasi dan rezeki berkelanjutan, hal ini dikarenakan Ryan mendapatkan job dan jadwal mengajar lebih banyak dengan anak yang berbeda. Disini Ryan belajar bahwa untuk belajar agama harus dimulai dari kecil agar tidak menjadi sulit dan menyesal ketika telah datang masa tua. Belajar di masa tua seperti mengukir di atas air sedangkan belajar pada fase muda seperti mengukir di atas kayu yang dapat diukir dengan kreatifitas yang tinggi dan bernilai mahal. “Mengajar adalah cara terbaik dalam belajar” inilah ucapan yang pantas dan patut di keluarkan untuk Ryan, dengan peristiwa mengajar ini maka Ryan mengambil kesimpulan bahwa hafalan dapat hilang dengan mudah dan persitiwa menjadi kenangan yang sulit dilupakan. Mengajar tidak hanya melepas kewajiban karena akan sangat merugi ketika ada orang yang mengajar tapi tidak belajar dari apa yang di ajarkan, ilmu itu akan menjadi kekal diingatan ketika selalu diulang dan beri kepada orang lain, hal ini ibarat memberikan pertolongan kepada orang yang sangat membutuhkan pertolongan, maka orang yang di tolong akan selalu ingat pertolongan tersebut. Mengajar adalah cara terbaik untuk belajar sabar, ikhlas, dan memberikan semangat juga akan menjadi pembelajaran yang baik ketika kesadaran datang kepada pendidik bahwa mengajar adalah shodaqoh jariyah yang tidak akan pernah terputus walaupun ajal datang menjemput.
Dari berbagai peristiwa mengajar, maka Ryan mengambil kesimpulan bahwa belajar tidak cukup hanya dengan memahami teori dan mematangkan konsep, tetapi perlu prakter dan menerapkan dari apa yang telah diperoleh selama mengenyam bangku kuliah. Pengalaman itu bukan peristiwa yang akan datang dengan sendiri tetapi akan ketemu ketika dicari, mengajar tidak harus dari baground guru maupun title pendidikan tetapi dengan mencoba dan yakin, maka semua orang berhak untuk mengajar dengan selalu belajar.
ffan
Posting Komentar untuk "Learning by Doing and Teaching"