Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Learning by Doing and Teaching

        Seorang anak laki-laki datang ke sebuah kota berbekal tekad dan segelintir pengalaman, tidak memiliki teman, sanak saudara apalagi keluarga. Cita-cita yang selalu menghantui dan kondisi keluarga yang menjadi fikiran setiap bermenung di tengah malam. Anak laki laki itu percaya bahwa setiap usaha pasti akan berbuah hasil walaupun itu hanya gerakan yang belum tentu membawa perubahan. Kota Yogyakarta merupakan icon dan kiblat dari sistem pendidikan yang ada di Indonesia, banyaknya anak daerah yang datang dengan segudang harapan dan keinginan, apakah untuk menjadi orang pintar dengan menggali ilmu atau hanya memperjuangkan ijazah sebagai bukti telah menyelesaikan studi pendidikan. Mahasiswa hadir sebagai agent perubahan dan pembantu masyarakat, hal ini merupakan doktrin yang diberikan dan disampaikan kepada mahasiswa agar selalu menjadi matahari disetiap tindakan dan pergerakan. Mahasiswa tidak hanya sebagai pelajar yang menimba ilmu dari dosen tetapi juga sebagai orang yang dituntut untuk melakukan pergerakan yang akan menjadi pengalaman. Mahasiswa bisa memperoleh wawasan dan ilmu dengan banyak melakukan kegiatan-kegiatan yang mampu mengasah kemampuan dan keilmuan. dunia pekerjaan tidak hanya cukup dengan rentetan nilai dan barisan angka yang bernilai tinggi tetapi juga perlu isi dan kemampuan individu dalam mengolah permasalahan.    

Anak ini bernama Ryan, seorang laki-laki yang mempunyai target dan rencana yang tidak jarang tidak tercapai dan gagal dalam melaksanakannya. Sebelum menginjak bangku kuliah Ryan merupakan anak pesantren yang menempuh pendidikan islam selama 7 tahun, hal ini sesuai dengan kurikulum di pondok pesantren tersebut yang mewajibkan menempuh pendidikan tsanawiyah selama 4 tahun dan aliyah 3 tahun. Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama dan akidah akhlah tetapi juga mempelajari semua pelajaran umum yang berada di SMP dan SMA secara tuntas. Pendidikan karakter yang ditanamkan dari bangku tsanawiyah tingkat dasar mengajarkan bahwa akhlak lebih utama dari sebuah ilmu dan berprilaku dengan bertata krama lebih dianjurkan dari pada hanya sekedar pintar dan cerdas dalam memperoleh nilai.

Setelah menamatkan bangku sekolah pertama dan menengah dengan prediket medium (biasa biasa saja) maka sudah merupakan kewajiban untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu bangku kuliah di strata 1 dan apabila Allah merestui maka lanjut ke jenjang strata 2. Setelah menyelesaikan strata 1 di salah satu univ swasta di Prov Sumatera Barat dengan hasil cukup memuaskan. Maka tahap selanjutnya Ryan membulatkan tekad dan meneguhkan pendirian harus pergi ke tanah jawa untuk menimba ilmu dan memperluas relasi. Sebelum bertempur dengan para peserta didik yang telah mempunyai kemampuan verbal yang sangat mampuni maka cara yang paling efektif untuk mengimprove kemampuan Ryan adalah menguasai bahasa asing terutama bahasa inggris, dan salah satu cara adalah mencoba mengenyam pendidikan di Pare dengan memilih konsentrasi Pre Toefl dan Pre Ielts. Setelah 1 bulan berlalu, Ryan menyadari bahwa program yang dipilihnya kurang tepat, karena untuk fokus ke toefl dan ielts harus mempunyai kemampuan dasar bahasa inggris yang baik, di Pare inilah Ryan belajar rendah hati, sabar dan sungguh-sungguh dalam menggapai tujuan dari seorang laki-laki yang baru dikenalnya, dan kebetulan laki-laki tersebut merupakan teman Ryan satu kamar yang sama. Tidak sombong dan rendah hati, itulah gambaran untuk laki-laki tersebut, yang di kemudian hari laki-laki ini lolos seleksi hakim dan berkesempatan mengenyam pendidikan hakim. Ternyata pekerjaan yang berkah itu adalah berbanding lurus dengan karakter manusianya.

Waktupun berlalu dan Ryan telah mengikuti serangkaian tahapan untuk malanjutkan ke jenjang pendidikan strata 2 disalah satu universitas negeri terkemuka di Yogyakrata. Kelulusan ini bukan murni dari kemampuan Ryan tetapi juga di bantu dengan sistem perekrutan mahasiawa baru di fakultas tersebut dan tentu nya juga dengan doa yang selalu dipanjatkan kepada sang maha penguasa. Dimulainya perkuliahan maka menandakan diawalinya pergualatan hidup mahasiswa dengan segudang cerita panjangnya. Selain mengikuti perkuliahan formal, Ryan juga aktif di salah satu pendidikan yayasan di Yogyakarta, yayasan ini bergerak dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak hingga remaja, baik itu pelajaran umum maupun pelajaran agama seperti mengajar baca tulis al quran (BTAQ) atau pelajaran umum sperti Matematika, Ipa, Ips, Keawarganegraan dan Agama. Yayasan ini tidak hanya mengajar di sekolah dasar yang bekerja sama dengan yayasan tersebut tetapi juga menerima sistem private. Ryan mulai mengetahui seluk beluk mengajar ketika masuk pada yayasan ini, para tutor diajarkan materi-materi yang akan disampaikan kepada anak-anak SD walaupun tidak diajarkan bagaimana cara melakukan pendekatan terhadap anak tersebut, karena metode dan cara adalah kreatifitas pengajar dalam membaca situasi dan kondisi peserta didiknya. Awal mengajar telah dihadapkan dengan segelumit tingkah anak-anak SD, mulai dari yang nakal hingga yang patuh. Para tutor juga dituntut untuk menghafal doa-doa dan ayat-ayat pendek, juga harus bisa membuka dengan tata cara yang sesuai dengan keinginan peserta didik. Pesantren tidak mengajarka Ryan cara mengajar karena Ryan termasuk santri yang nakal di antara santri-santri lainnya, hal ini dapat dilihat bahwa Ryan pernah memperoleh peringkst 23 dari 25 siswa.

Memulai mengajar di salah satu yayasan membawa Ryan harus belajar lebih giat dalam memperdalam ilmu dasar agama dan juga harus mempelajari cara-cara yang dapat di praktekkan kepada siswa/i SD tersebut. Ryan menyadari bahwa suasana pendidikan pada zaman sekarang sangat jauh berbeda dengan suasa pendidikan pada tahun 90 an, hal ini semakin kontras ketika Ryan mengajar BTAQ (baca tulis al qur’an) yang notaben kelas 6 SD pun masih belum bisa membaca iqra dengan baik dan benar. Kondisi seperti ini tidak terlepas dari pendidikan keluarga yang ditanamkan oleh orang tua kepada anaknya. Pendidikan agama di kota besar tidak menjadi perhatian utama seperti halnya masyarakat desa yang sangat fokus dan konsent terhadap pendidikan agama. Situasi ini mejadikan Ryan sadar bahwa pendidikan terbaik adalah pendidikan keluarga yang diberikan ketika masa kecil dan anak anak.

Pengajaran perdana yang diberikan Ryan kepada anak-anak SD menjadi sejarah yang tidak akan pernah terlupakan, hal ini dikarenakan banyaknya hal baru yang harus dipelajari dalam persoalan ngajar mengajar. Mengajar merupakan langkah awak bagi Ryan untuk melangkah lebih maju, Yayasan ini tidak hanya memberikan penyaluran tutor kepada SD tetapi juga menerima panggilan private mengajar dan biasanya yang cukup populer adalah permintaan untuk private mengaji, hal ini merupakan kemajuan bagi masyarakat kota yang notaben tidak memikirkan persoalan akhirati. Pengajaran private perdana yang diperoleh Ryan adalah mengajarkan mata pelajaran umum untuk anak SD, gambaran awal dalam mengajar adalah sesuatu kemudahan karena hanya mengajarkan anak SD, tetapi fakta tidak sesuai dengan kenyataan. Kurikulum yang tinggi harus dibarengi dengan pemahaman dan pengetahuan yang luas. Ryan yang merupakan anak pondok dan mengambil jurusan IPS harus mengajarkan ilmu-ilmu pasti seperti matematika, IPA dan Bhs.inggris (mata pelajarn yang sangat ditakuti Ryan). Hal ini menjadi tantangan untuk Ryan harus mempelajari dari dasar keilmuan umum dan materi-materi 10 tahun yang lalu.

Mempelajari materi zaman SD pada tahun 90 an tidak sesulit memahami cara dan metode pengajaran yang harus di ajarkan kepada perserta didik, tidak ada satupun materi maupun cara yang efektif kecuali melihat situasi dan kondisi dari objek yang diajarkan.  Kesabaran, ketekunan dan keikhlasan adalah kata yang tepat untuk Ryan, mencoba berbagai cara dan metode adalah hal wajar ketika itu merupakan fase perdana dalam menjadi peserta didik. Ryan menggali, membaca dan memahami ulang dari materi-materi yang akan diberikan seperti menghafal perkalian, memperluas wawasan keilmuan dan mempelajari metode pengajaran.

Hari perdana Ryan mengajar merupakan peristiwa langkah nan sejarah, belajar matematika merupakan pelajaran hanya untuk profesor dan ahli telamatika (fikiran Ryan). Tibahlah hari perdana mengajar untuk Ryan, Kamu ada PR bro ?? tanya Ryan ke Fadhil (anak yang di privatin Ryan), Ryan mengajar dengan santai dan berusaha tidak kaku apalagi formal. “iya, ada mas” sahutnya, “okkee, PR apa and berapa banyak ?”, “tidak banyak mas, hanya 2 lembar and ini PR matematika”. Ryan dengan mata santai dengan hati kacau dan jantung hampir lepas dari posisi nya menjawab “oke, lets go !”. sebelum belajar dimulai pasti diawali dengan membaca iqra dan menulis huruf hijaiyah, disinilah waktu yang di nanti nanti kan Ryan, sembari Fadhil menulis maka Ryan melihat tugas matematika nya, dan tingkah yang pertama adalah menghela nafas dengan mengerutkan kening. “Tugas yang mudah dan sangat simple” kalimat ini lah yang terbesit di fikiran Ryan pertama kali mendengar informasi untuk mengajarkan anak SD, tetapi situasi menjawab berbeda, karena kurikulum masa sekarang sangat berbeda dengan pada masa tahun 90 an. Pelajaran dengan kuliatas hard level menjadi konsumsi sehari hari untuk anak pada masa milenium sekarang.

Mengajar fadhil merupakan tahap awal dari perjalanan Ryan dalam mengajar di Yogyakarta. “perbanyaklah relasi maka rezekimu akan melimpah dan tantanganmu akan berat” barangkali perumpamaan ini yang sangat cocok terhadap situasi dan kondisi Ryan saat sekarang ini, karena setelah mengajar anak SD Ryan menadapatkan rezeki dan tantangan baru untuk mengajar mahasiswa dengan pengajaran yang sama yaitu BTAQ (baca tulis al quran). “assalamualaikum” saut Ryan dengan wajah penuh semangat dan deg degan menanti tantangan baru apa yang akan diterimanya, “waalaikum salam” saut salah satu penghuni rumah yang ternyata itu adalah laki laki yang akan Ryan ajar BTAQ, perawakan kurus dan keren, itulah ucapan ketika melihat Bima, yang merupakan mahasiswa di salah satu univ swasta yang sangat terkenal di Yogya. “mas Bima ??”, “iya” jawabnya, dengan prinsip SKSD (sok kenal sok dekat) akhirnya Ryan mampu akrab dengan bima. “mungkin mengajar mahasiswa sangat tidak terlalu sulit karena pasti sudah bisa membaca dan menulis dengan baik, karena sudah sangat dewasa” inilah pemikiran pertama yang terlintas di benak Ryan. “mari kita mulai dengan membaca basmalah mas bro”, “okkee” sautnya, dengan bacaan yang sangat lancar menjadikan Ryan optimis untuk mengajarkan bima dengan santai. “am..ammmaa.. ya.. tasyaaa..aa..aa..lluuu..uun”, kalimat yang keluar dari suara bima. Ryan dengan pejamkan mata sambil istigfar di hati “astagfirullah”, fikiran untuk bersyukur adalah kalimat yang di ucapkan hati Ryan, karena melihat seorang laki laki dewasa yang belum bisa membaca al quran, bahkan harus di ulang dari tahap iqraq. Dengan peristiwa di atas maka Ryan berfikir bahwa sangat wajar Ryan kena pukul dan ditegaskan oleh guru ngajinya pada masa kanak-kanak, ternyata mengaji adalah hal yang sepele tetapi rumit bagi yang tidak mau belajar dan memurojaah bacaannya. “bersyukur” adalah kata yang pantas di keluarkan dari kalimat Ryan setelah melihat bagaimana situasi pemuda di kota-kota besar seperti Yogyakarta apalagi Jakarta, Bandung dan Surabaya.

Dengan mengajarkan 2 sampai 3 anak maka Ryan memperoleh relasi dan rezeki berkelanjutan, hal ini dikarenakan Ryan mendapatkan job dan jadwal mengajar lebih banyak dengan anak yang berbeda. Disini Ryan belajar bahwa untuk belajar agama harus dimulai dari kecil agar tidak menjadi sulit dan menyesal ketika telah datang masa tua. Belajar di masa tua seperti mengukir di atas air sedangkan belajar pada fase muda seperti mengukir di atas kayu yang dapat diukir dengan kreatifitas yang tinggi dan bernilai mahal. “Mengajar adalah cara terbaik dalam belajar” inilah ucapan yang pantas dan patut di keluarkan untuk Ryan, dengan peristiwa mengajar ini maka Ryan mengambil kesimpulan bahwa hafalan dapat hilang dengan mudah dan persitiwa menjadi kenangan yang sulit dilupakan. Mengajar tidak hanya melepas kewajiban karena akan sangat merugi ketika ada orang yang mengajar tapi tidak belajar dari apa yang di ajarkan, ilmu itu akan menjadi kekal diingatan ketika selalu diulang dan beri kepada orang lain, hal ini ibarat memberikan pertolongan kepada orang yang sangat membutuhkan pertolongan, maka orang yang di tolong akan selalu ingat pertolongan tersebut. Mengajar adalah cara terbaik untuk belajar sabar, ikhlas, dan memberikan semangat juga akan menjadi pembelajaran yang baik ketika kesadaran datang kepada pendidik bahwa mengajar adalah shodaqoh jariyah yang tidak akan pernah terputus walaupun ajal datang menjemput.

Dari berbagai peristiwa mengajar, maka Ryan mengambil kesimpulan bahwa belajar tidak cukup hanya dengan memahami teori dan mematangkan konsep, tetapi perlu prakter dan menerapkan dari apa yang telah diperoleh selama mengenyam bangku kuliah. Pengalaman itu bukan peristiwa yang akan datang dengan sendiri tetapi akan ketemu ketika dicari, mengajar tidak harus dari baground guru maupun title pendidikan tetapi dengan mencoba dan yakin, maka semua orang berhak untuk mengajar dengan selalu belajar. 

ffan

Posting Komentar untuk "Learning by Doing and Teaching"